Gedung Pencakar Langit Tahan Gempa Jakarta Memberikan Pelajaran untuk Indonesia yang Rawan Gempa

Gedung Pencakar Langit Tahan Gempa Menara Astra memberikan pelajaran untuk Indonesia yang Rawan Gempa. Ketika gempa bumi berkekuatan 5,6 skala Richter (SR) mengguncang provinsi Jawa Barat Indonesia pada hari Senin, 21 November 2022 sejauh Jakarta, sekitar tiga jam perjalanan, ia merasakan kekuatannya. Ketika banyak orang menyerbu kantor mereka ke jalan, para pekerja berhenti di sebuah gedung.

Mereka bekerja seperti biasa di kantor mereka di gedung pencakar langit 51 lantai bernama Menara Astra di pusat ibu kota Indonesia.

Gedung Pencakar Langit Tahan Gempa

Gedung Pencakar Langit, yang menampung kantor, dealer mobil, museum, dan toko, adalah bangunan pertama di seluruh negeri yang menggunakan sistem pengetatan belt-truss, yang telah lama diadopsi oleh negara-negara rawan gempa lainnya seperti Jepang dan Amerika Serikat. Sistem belt-truss melibatkan dinding pengikat dan kerangka dasar untuk mengurangi getaran dan perpindahan di gedung, kata Leonardi Kawidjaja dari perusahaan desain dan teknik global Arup Group. Bangunan ini juga memiliki apa yang disebut “lantai tempat berlindung”, di mana karyawan dapat mencari perlindungan dalam bencana ekstrem. Karena sistem belt-truss terletak di lantai penampungan, mereka diberi perlindungan tambahan. Dengan sistem ini, Menara Astra mampu menahan peristiwa seismik dalam 500 tahun, kata Mr. Kawidjaja, yang merupakan kepala tim konstruksi untuk teknologi konstruksi.

Bagi Indonesia, yang berada di cincin api Pasifik, Menara  Astra memberikan cetak biru tentang bagaimana kota-kotanya akan lebih siap menghadapi bencana di masa depan. Mega proyek mixed-use lainnya bernama Thamrin 9, 20 menit berkendara dari Menara Astra, juga mengambil pendekatan desain yang sama.

Baca Juga:  Jl Sam Ratulangi, Jakarta Pusat: Menelusuri Tengah Ibu Kota

Selain itu, Arup Group memasang apa yang disebut sistem boom di dua bangunan mixed-use lainnya yang saat ini sedang dibangun, yang juga berkontribusi pada keamanan gempa. Bangunan yang runtuh karena struktur yang lemah adalah penyebab utama kematian akibat gempa, dan bangunan tahan gempa sangat membantu menyelamatkan nyawa. Untuk negara-negara rentan seperti Indonesia, investasi dalam infrastruktur tahan gempa juga dapat menghemat uang: pada tahun 2018, Indonesia mengalami kerugian lebih dari Rp4,2 Triliun akibat kehancuran terkait gempa bumi, demikian menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Lanjutnya, Mr. Kawidjaja mengatakan bahwa sementara gedung-gedung tinggi Jakarta telah dirancang dengan mempertimbangkan gempa bumi sejak tahun 1970-an, kode desain seismik telah berkembang sejak saat itu. Hal ini membuat bangunan tua yang ada lebih rentan terhadap gempa bumi daripada bangunan yang lebih modern.

Pada tahun 2012, Indonesia menetapkan standar desain seismik nasional dan memperbarui manual untuk meningkatkan ketahanan gempa pada bangunan besar. Bangunan setinggi lebih dari 40 meter di Jakarta harus dirancang sesuai dengan Kode Desain Seismik Nasional Indonesia.

Investasi untuk standar desain seismik perlu diperluas ke semua daerah di Indonesia

Namun, keberhasilan Menara Astra juga mencerminkan kenyataan pahit: daerah perkotaan dapat mengambil langkah-langkah perlindungan sipil dengan lebih mudah karena konsentrasi kekuasaan dan kekayaan yang lebih besar, sementara daerah pedesaan dan miskin harus puas dengan infrastruktur yang tidak memadai. Menara Astra dikembangkan oleh PT Astra Land Indonesia, salah satu pengembang terbesar di Tanah Air.

Hal di atas terbukti dengan kejadian di Cianjur, wilayah Jawa barat yang dilanda gempa dangkal pekan ini. Setidaknya 271 orang tewas, termasuk banyak anak-anak yang bersekolah pada saat gempa. Puluhan orang terluka dan banyak yang masih hilang. Pihak berwenang mengatakan setidaknya 22.000 rumah rusak. Pejabat pemerintah mengatakan banyak dari korban tewas tewas ketika bangunan runtuh, mendorong Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan pembangunan rumah tahan gempa sebagai bagian dari upaya rekonstruksi.

Baca Juga:  Jl Sam Ratulangi, Jakarta Pusat: Menelusuri Tengah Ibu Kota

“Tentu saja, ada kesenjangan dalam pengurangan risiko bencana antara daerah perkotaan, pinggiran kota dan pedesaan,” kata Associate Professor Solvicar Amir dari Nanyang Technological University di Singapura, yang mempelajari ketahanan bencana. Lanjutnya, “Masalah terbesar adalah biaya. Untuk gedung pemerintah dan bangunan komersial besar, ini mungkin tidak menjadi masalah. Tetapi untuk usaha kecil, agensi, dan pengembang proyek, mereka lebih cenderung melewatkan kepatuhan karena alasan keuangan.  “

“Langkah-langkah yang lebih keras untuk memastikan kepatuhan yang lebih baik dapat mencakup hukuman untuk pelanggaran standar,” kata Duikurita Karnawati, kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia. Dalam semua upaya rekonstruksi pascagempa, pemerintah memastikan bahwa infrastruktur yang baru dibangun tahan terhadap bencana alam. “Kemajuan sudah dimulai, tapi belum sempurna,” katanya.